Posted by: paradox | November 1, 2009

Cang Panah: Mati

Seorang panglima yang bijak nan piawai bersama seorang imam kampung yang dikenal suci oleh masyarakat berhasil mengiming- imingi para pemuda dengan dara-dara perawan dalam surga.

“Kalau syahid dalam perang di jalan tuhan hadiahnya kenikmatan surga yang tak pernah ada di dunia ini, surga yang penuh bidadari yang selalu perawan,” kata panglima kepada para pemuda dan diiakan sang imam.

Alhasil ribuan pemuda miskin, termasuk anak semata wayang sang panglima, tak pikir panjang untuk meraih kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak dengan mengikuti sang panglima dalam sebuah perang melawan kaum ingkar kepada tuhan—yang juga sudah siap perang.

Terlebih para pemuda itu juga bosan dengan hidup menderita di dunia ini akibat ketidakadilan pemimpin munafik, mereka pun bersemangat untuk meraih syahid yang mereka sebut dengan “kematian yang indah”.
Besoknya sang panglima, anaknya, sang imam, dan para pemuda berangkat ke medan tempur, lengkap dengan senjata tak modern dan perbekalan makan apa adanya. Namun apalah daya, sang panglima dalam bujukannya kemarin lupa mengatakan bahwa ia menginginkan kemenangan atas perang yang akan mereka tempuh. Sehingga pengikut-pengikutnya bukannya ingin memenangi perang, tapi ingin mati, ingin surga dan bidadari-bidadari di dalamnya. Alhasil, mereka kalah.

Sang panglima, sang imam, anaknya dan tujuh orang pengikutnya selamat dari perang. Mereka berhasil kabur dari medan perang ke suatu lembah gersang yang tak ada air, tak ada binatang ternak, juga tak ada tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan.

Saat itu sang panglima kebingungan karena perbekalan makanan dan air mereka hanya mencukupi kebutuhan untuk satu minggu. Untuk itu, sang panglima bermusyawarah dengan pengikutnya.

“Perbekalan makanan dan air kita tinggal sedikit, hanya bisa mencukupi satu minggu kalau setiap orang di antara kita makan dan minum dua kali sehari. Dan dalam satu minggu ini kita tidak mungkin bisa pulang ke kampung karena musuh pasti sedang berkeliaran mencari kita,” kata panglima.
“Ia, kita harus makan dan minum sehari sekali agar bisa bertahan dua Minggu,” timpa sang imam.

Kemudian sang panglima membuat sebuah ketetapan. “Siapa saja yang makan dan minum lebih dari satu kali sehari mulai besok, akan kutebas kepalanya,” katanya sambil mengayunkan pedangnya ke udara untuk meyakinkan pengikutnya bahwa dia tidak main-main.

Setelah musyawarah itu, sang panglima dan pengikutnya makan malam untuk pertama kalinya dalam keadaan takut.

Hari pertama setelah perjanjian itu ternyata seorang pengikutnya berkhianat. Dia mencuri makanan yang ada untuk bisa makan dua kali sehari. Kejadian itu membuat sang panglima sangat marah. Selidik punya selidik, hal itu kemudian terbongkar. Sang panglima memanggil anak buahnya yang mencuri itu untuk menghadapnya. Kepala prajurit itu pun dibuat terpisah dari badannya. Sang panglima tak segan-segan, sesuai dengan janjinya.

Hari kedua kejadian itu berulang, seorang prajurit kedapatan oleh sang panglima sendiri sedang mencuri makanan. Dia langsung menebas leher prajuritnya itu dari belakang.

Hari ke tiga keadaan tidak berubah, kejadian serupa juga terulang, makanan habis dicuri. Selidik punya selidik, ternyata yang mencuri makanan itu adalah anak panglima sendiri. Sang panglima bingung tujuh keliling, dia tak tega menebas kepala anak semata wayangnya sendiri.

Dipanggillah sang imam untuk membicarakan masalah itu, sang panglima mengancam imam itu dan memerintahkannya untuk mencari hadis atau ayat yang bisa membatalkan keputusannya menebas kepala siapa saja yang mencuri tempo hari untuk dijelaskan kepada prajurit-prajurit yang lain. Jika imam itu tidak mau, maka sang panglima akan membunuhnya.

Karena ketakutan, akhirnya sang imam mengaranglah sebuah hadis kepada prajurit-prajurit agar anak panglima terbebas dari hukuman. “Seorang ayah tidak boleh membunuh anaknya sendiri, karena hal itu merupakan dosa besar,” terang sang imam kepada prajurit-prajurit yang tinggal. Akhirnya anak sang panglima pun terbebas.

Namun, air dan makanan akhirnya habis. Empat hari kemudian, mereka semua mati kelaparan, tak terkecuali sang panglima dan sang imam yang piawai dalam mengarang hadis untuk suatu kepentingan.

Neraka menunggu mereka. []

Dimuat di Harian Aceh, Sabtu, 31 Oktober 2009


Leave a comment

Categories